Sebagian masyarakat mensinyalir sikap tebang pilih ini dikarenakan KPK tidak berani menuntaskan kasus-kasus besar yang melibatkan pihak penguasa. Pimpinan KPK saat ini juga dicurigai berafiliasi dengan kepentingan pihak tertentu. Sehingga beberapa pengamat hukum berstatement adanya politisasi hukum ditubuh KPK.
Menyikapi hal ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad sempat menolak dugaan tersebut dan mengatakan, KPK belum bisa menahan tersangka kasus korupsi Hambalang lantaran KPK belum menerima laporan audit kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Jadi kami belum bisa melakukan langkah-langkah progresif karena kasus Hambalang belum ada hasil penghitungan jumlah kerugian negaranya dari BPK," ujar Ketua KPK Abraham Samad, Jumat (24/5)Namun, menanggapi hal ini BPK seolah buang badan dan melemparkan tanggung jawab pengusutan jumlah kerugian negara terkait kasus korupsi tersebut ke Kementerian Pekerjaan Umum (PU), dengan alasan bahwa Kementerian PU lebih ahli untuk melakukan pengusutan kerugian negara dalam proyek tersebut.
"BPK hanya memeriksa. kewenangan menahan ada di penyidik lembaga penegak hukum, baik itu penyidik Polri, Kejaksaan, atau KPK. Jadi tidak ada kaitannya (penahanan) dengan BPK," tegas Ketua BPK Hadi Purnomo di Kantor BPK, Jakarta, Selasa (28/5)
"Sedangkan untuk menghitung proyek konsursi bangunan kami meminta pada ahlinya. Ahlinya adalah kementrian PU. Tapi sampai sekarang belum selesai, kami juga sudah komunikasikan ke PU katanya belum selesai," terangnya kembali.
Lantas setelah ini kemanakah tanggung jawab penyelesaian kasus korupsi Hambalang dilemparkan? Dimanakah letak keseriusan KPK dan lembaga hukum terkait dalam penyelesaian kasus Hambalang? Kita tunggu saja jawabannya. (As)
0 komentar:
Plaas 'n opmerking